Sebab-Sebab Amarah
SEBAB-SEBAB AMARAH
Oleh
Khumais as-Sa‘id
Amarah itu memiliki sebab-sebab pemicunya dan juga faktor-faktor pendorongnya. Di antara sebab dan faktor pendorongnya yang terpenting adalah:
a. Lingkungan Yang Melingkupi Seseorang.
Sebab pertama yang memicu seseorang mudah marah adalah kembali kepada lingkungan sekitarnya, pengaruh faktor yang satu ini lebih mencakup daripada lingkungan yang dekat -yaitu rumah- maupun lingkungn yang jauh -yaitu masyarakat-. Terkadang bisa saja seseorang itu dilingkupi lingkungan yang penuh dengan kejahatan di mana mereka menganggap bahwa kebrutalan adalah suatu keberanian, kesewenang-wenangan amarah yang mengakibatkan kezhaliman adalah bentuk kejantanan, lalu ia terpengaruh dengan hal tersebut dan menjadi cepat marah sebagai kebiasaan dirinya dan menjadi ciri khas baginya.
b. Perdebatan Dan Berbantah-Bantahan.
Sebab kedua yang memicu seseorang mudah marah adalah perselisihan dan perdebatan dengan cara yang bathil, yaitu setiap orang yang saling menghina tersebut ingin menjadi pemenang atas yang lainnya walaupun dengan cara yang bathil, dan ketika hal itu tidak ia dapatkan, maka marahlah ia dan berkobarlah kemarahannya dengan maksud menyerang dan balas dendam, apalagi jika ia melihat dirinya lebih kuat atau lebih besar dari lawan debatnya.
Dan mungkin inilah yang menjadi sebab diperingatkannya seseorang dari berdebat dan berbantah-bantahan dalam kebathilan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]
c. Bersenda Gurau Dengan Kebathilan.
Sebab ketiga yang mengakibatkan kemarahan adalah kembali kepada sikap suka bercanda (bergurau) dengan cara yang bathil. Hal itu bahwa jika bergurau itu melampaui batas-batas kebenaran menuju kepada kebathilan, maka ia akan mengakibatkan permusuhan, dan permusuhan itu akan berakhir pada pengobaran api amarah dalam hati dengan gambaran yang nyata pada anggota tubuh yang akan membawa kepada kezhaliman dan balas dendam.
Mungkin inilah yang menyebabkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bercanda dengan cara yang bathil, bukan berarti beliau tidak pernah bercanda, beliau bercanda namun beliau tidak berkata melainkan kebenaran, beliau melarang dari bercanda yang bathil dengan sabdanya:
(( لاَ تُمَارِ أَخَاكَ وَلاَ تُمَازِخْهُ، وَلاَ تَعِدْهُ مَوْعِدَةً فَتُخْلِفَهُ ))
“Janganlah kamu berdebat dengan saudaramu dan janganlah kamu bercanda dengannya, serta janganlah kamu berjanji kepadanya lalu kamu mengkhianatinya.”[2]
d. Memusuhi Orang Lain Dalam Bentuk Apapun Dari Bentuk-Bentuk Permusuhan.
Sebab keempat yang mengakibatkan kemarahan adalah memusuhi orang lain dalam bentuk apa pun dari berbagai macam bentuk permusuhan. Yaitu jika seseorang dimusuhi oleh orang lain dengan bentuk permusuhan apa pun dari bentuk-bentuknya, baik berupa ejekan, hinaan, memata-matai, mencari-cari aurat (aib)nya, ghibah, fitnah, celaan, melukai, penangkapan dan penahanan dipenjara, pemukulan dan siksaan seperti yang dilakukan oleh sebagian besar pemerintahan negara-negara Islam, bahkan negara-negara Arab secara khusus terhadap sebagian pemuda yang beragama dan memiliki semangat tinggi yang mereka telah salah jalan merupakan suatu perkara yang membangkitkan kemarahan dari dalam dirinya, dan membawanya kepada penolakan dengan suatu bentuk alasan atau dengan hal lainnya.
Mungkin inilah sebab dari apa yang diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya terhadap orang yang memusuhi orang lain tanpa alasan yang benar, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴿١١﴾أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [Al-Hujuraat/49: 11-12]
e. Sombong Dan Membanggakan Diri Di Muka Bumi Dengan Tanpa Memiliki Hak.
Sebab kelima yang mengakibatkan kemarahan adalah sifat sombong dan membanggakan diri di muka bumi dengan tanpa hak. Hal itu bahwa orang yang sombong dan membanggakan diri di muka bumi dengan tanpa hak akan mudah terpengaruh setiap kali hilang darinya apa yang diyakininya dalam rangka mengekalkan keagungan dan kedudukannya di antara manusia. Jika seseorang meminta haknya kepadanya, maka hal itu dapat mengobarkan amarahnya, demikian pula jika ia dilarang oleh seseorang dari suatu perbuatan yang hina, atau ada orang yang mengkritiknya dalam suatu perkara yang diyakininya bahwa ia telah sempurna sekali dari segala sisi dalam hal tersebut, maka tidak boleh bagi seseorang untuk memerintahnya, melarangnya atau menghalangi jalannya, padahal kenyataannya kekurangan padanya sangatlah sangat nyata dari segala sisi, ia berusaha untuk memaksa kekurangan tersebut dengan kesombongan dan membangga-banggakan dirinya.
f. Lupanya Jiwa Akan Arti Perjuangan.
Sebab keenam yang mengakibatkan kemarahan adalah lupanya jiwa akan arti perjuangan, yaitu bahwasanya setiap penyakit yang manusia diuji dengannya akan menjadi gawat dan bertambah parah, ia seolah-olah menjadi sebuah bagian dari pangkal kerusakan manusia ketika ia melalaikannya, dan jiwanya tidak berjuang untuk menghilangkan penyakit tersebut darinya atau melepaskan diri darinya.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak untuk berjuang dengan firman-Nya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” [Al-‘Ankabuut/29: 69]
g. Tidak Adanya Orang Lain Yang Menunaikan Kewajibannya Terhadap Orang Yang Sedang Marah.
Sebab ketujuh yang mengakibatkan kemarahan adalah tidak adanya orang lain yang menunaikan kewajibannya terhadap orang yang sedang marah. Hal itu bahwasanya manusia telah mengetahui kekurangan dan aib-aibnya, akan tetapi disebabkan kelemahannya di hadapan jiwanya sendiri, di hadapan tipuan syaitan dari manusia dan jin serta perhiasan dunia, maka ia pun menjadi lemah untuk melepaskan diri dari aib tersebut. Kekurangan ini harus dibantu oleh orang lain yang mendampinginya hingga ia dapat melepaskan dirinya dari aib dan kekurangan tersebut dengan amarah, karena sesungguhnya amarah tersebut akan menjadi parah dan gawat hingga ia seolah-olah menjadi bagian dari pribadi pelakunya yang tidak dapat berpisah sedikit pun.
h. Sebuah Sifat Yang Dipandang Seseorang Masih Kurang Dan Merupakan Perbuatan Aib.
Sebab kedelapan yang dapat mengakibatkan kemarahan adalah sebuah sifat yang diberikan kepada seseorang lalu ia memandang sifat tersebut memiliki kekurangan dan aib. Hal itu bahwasanya manusia bila diberikan sebuah sifat dengan sifat-sifat yang ia pandang masih kurang ataupun memiliki aib yang membuat kedudukan dan kemuliaannya berkurang, seperti dikatakan kepadanya. ‘Seandainya kamu laki-laki maka kamu pasti bertemu dengan fulan dan fulan, saya mengira bahwa kamu tidaklah ingin bertemu fulan hanya karena khawatir dan takut akan kekuatannya,’ demikianlah hal yang menggerakkannya dari dalam dirinya dan terpantul pada anggota tubuhnya, seketika itu ia menjadi orang yang memerah wajah dan kedua matanya, bernoda dan berbuih sehingga berbuat kezhaliman dan balas dendam, seperti alasan yang menyebabkan keluarnya Umayyah bin Khalaf menuju kematiannya pada perang Badar sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata:
(( اِنْطَلَقَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ مُعْتَمِرًا، فَنَزَلَ عَلَى أُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ أَبِيْ صَفْوَانَ، وَكَانَ أُمَيَّةُ إِذَا انْطَلَقَ إِلَى الشَّامِ فَمَرَّ بِالْمَدِيْنَةِ نَزَلَ عَلَى سَعْدٍ، فَقَالَ أُمَيَّةُ لِسَعْد:ٍ انْتَظِرْ، حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ النَّهَارُ، وَغَفَلَ النَّاسُ، انْطَلَقْتُ فَطُفْتُ، فَبَيْنَا سَعْدٌ يَطُوْفُ إِذَا أَبُوْ جَهْلٍ، فَقَالَ: مَنْ هَذَا الَّذِيْ يَطُوْفُ بِالْكَعْبَةِ ؟ فَقَالَ سَعْدٌ: أَنَا سَعْدٌ، فَقَالَ أَبُوْ جَهْلٍ: تَطُوْفُ بِالْكَعْبَةِ آمِنًا، وَقَدْ آوَيْتُمْ مُحَمَّدًا وَأَصْحَابَهُ: فَقَالَ: نَعَمْ، فَتَلاَحَيَا بَيْنَهُمَا، فَقَالَ أُمَيَّةُ لِسَعْدٍ: لاَ تَرْفَعْ صَوْتَكَ عَلَى أَبِي الْحَكَمِ، فَإِنَّهُ سَيِّدُ أَهْلِ الْوَادِيْ، ثُمَّ قَالَ سَعْدٌ: وَاللهِ لَئِنْ مَنَعْتَنِيْ أَنْ أَطُوْفَ بِالْبَيْتِ لأَقْطَعَنَّ مَتْجَرَكَ بِالشَّامِ. قَالَ: فَجَعَلَ أُمَيَّةُ يَقُولُ لِسَعْدٍ: لاَ تَرْفَعْ صَوْتَكَ، وَجَعَلَ يُمْسِكَهُ فَغَضِبَ سَعْدٌ فَقَالَ: دَعْنَا عَنْكَ، فَإِنِّيْ سَمِعْتُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزْعُمُ أَنَّهُ قَاتِلُكَ، قَالَ: إِيَّايَ ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَاللهِ مَا يَكْذِبُ مُحَمَّدٌ إِذَا حَدَّثَ، فَرَجَعَ إِلَى امْرَأَتِهِ، فَقَالَ: أَمَا تَعْلَمِيْنَ مَا قَالَ لِيْ أَخِي الْيَثْرِبِيُّ ؟ قَالَتْ: وَمَا قَالَ ؟ قَالَ: إِنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدًا يَزْعُمُ أَنَّهُ قَاتِلِيْ، قَالَتْ: فَوَاللهِ مَا يَكْذِبُ مُحَمَّدٌ، قَالَ: فَلَمَّا خَرَجُوْا إِلَى بَدْرٍ وَجَاءَ الصَّرِيْخُ، قَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ: أَمَا ذَكَرْتَ مَا قَالَ لَكَ أَخُوْكَ الْيَثْرِبِيُّ؟ قَالَ: فَأَرَادَ أَنْ لاَ يَخْرُجَ، فَقَالَ لَهُ أَبُوْ جَهْلٍ: إِنَّكَ مِنْ أَشْرَافِ الْوَادِيْ، فَسِرْ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ، فَسَارَ مَعَهُمْ فَقَتَلَهُ اللهُ ))
“Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu pergi berumrah, lalu singgah di rumah Umayyah bin Khalaf Abu Shafwan. Dan biasanya, jika Umayyah akan pergi ke Syam ia harus melewati Madinah dan singgah di rumah Sa’ad, lalu Umayyah berkata kepada Sa’ad, ‘Tunggulah hingga tengah hari, di mana manusia telah beristirahat.’ Lalu ia pergi ke Ka’bah dan melakukan thawaf. Ketika Sa’ad thawaf, Abu Jahal melihatnya, maka ia berkata, ‘Siapa orang yang sedang thawaf di Ka’bah?’ Sa’ad berkata, ‘Aku, Sa’ad.’ Abu Jahal berkata, ‘Engkau thawaf di Ka’bah dengan rasa aman padahal engkau telah melindungi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya?’ Ia berkata, ‘Ya.’ Maka keduanya pun saling mencela, lalu Umayyah berkata kepada Sa’ad, Jangan kau tinggikan suaramu terhadap Abul Hakam, karena ia adalah pemimpin penduduk lembah ini.’ Lalu Sa’ad menjawab, ‘Demi Allah, seandainya kau melarangku thawaf di Ka’bah, maka aku akan menghadang kafilah dagangmu yang menuju ke Syam.’” ‘Abdullah berkata, “Lalu Umayyah berkata kepada Sa’ad, ‘Janganlah kau tinggikan suaramu -seraya memegangnya-‘ Lalu Sa’ad marah dan berkata, ‘Jauhkan aku darimu, sesungguhnya aku telah mendengar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwasanya ia akan membunuhmu.’ Ia berkata, ‘Membunuhku?’ Sa’ad berkata, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Demi Allah! Muhammad tidak akan berbohong jika berbicara.’ Lalu ia pulang kepada isterinya seraya berkata, ‘Apakah engkau tahu apa yang dikatakan sau-daraku dari Yatsrib?’ Isterinya berkata, ‘Apa yang dikatakannya?’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya ia mendengar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membunuhku.’ Isterinya berkata, ‘Demi Allah, Muhammad tidak akan berbohong.’” ‘Abdullah berkata, “Ketika mereka berangkat menuju Badar dan datang panggilan (orang yang memanggil), isterinya berkata kepadanya, ‘Apakah engkau tidak ingat perkataan saudaramu dari Yatsrib?’” Ia (‘Abdullah) berkata, “Lalu ia ingin agar ia tidak pergi. Abu Jahal berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kau termasuk di antara orang-orang yang terhormat dari penduduk lembah ini, maka berangkatlah satu atau dua hari.’ Maka ia pun berangkat dan akhirnya Allah membinasakannya.”[3]9
i. Mengingatkan Permusuhan Dan Dendam Kesumat Yang Telah Lama.
Sebab kesembilan yang dapat menimbulkan kemarahan adalah mengingatkan permusuhan dan dendam kesumat yang telah lama terpendam. Hal itu terjadi jika seseorang mempunyai dendam kesumat kepada orang lain, kemudian ia melupakannya demi agama dan imannya, sehingga hati mereka menyatu dan menjadi bersaudara dalam cinta. Dalam hal ini orang-orang yang dengki dan hasad berusaha menghitamkan kembali hati-hati tersebut setelah mencapai persaudaraan dengan satu cara atau dengan berbagai cara lainnya. Cara mereka yang paling efektif dalam merusak hubungan saudara tersebut adalah mengingatkan dendam yang telah lama terpendam. Seperti halnya hubungan yang terjadi pada kaum Anshar antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj, pada zaman Jahiliyyah mereka mempunyai dendam dan saling bermusuhan serta berperang. Ketika Islam datang, hilanglah dendam kesumat antara mereka, lalu Islam mempersaudarakan mereka semua dan menyatukan pendapat mereka.
j. Kelalaian Akan Akibat-Akibat Yang Disebabkan Oleh Marah.
Sebab yang terakhir, bahwa terkadang (manusia) lalai terhadap akibat dan efek yang diperoleh dari amarah, baik bagi individu maupun kelompok, dunia maupun akhirat yang merupakan sebab terjadinya amarah, hal itu karena apabila seseorang lalai dari pengaruh-pengaruh dan akibat-akibat yang diperoleh dari suatu perkara, maka ia akan tergelincir kepada perkara tersebut tanpa ia ketahui dan sadari.
[Disalin dari Kitab Mawaaqif Ghadhiba fiihan Nabiyyu Shallallahu Alaihi Wa Sallam Penulis Khumais as-Sa‘id, Judul dalam Bahasa Indonesia Pelajaran Penting Dari Marahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Sya’ban 1426 H – September 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( أَنَا زَعِيمُ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا …))
“Aku menjadi pemimpin di sebuah tempat di Surga bagi orang yang mening-galkan perdebatan walaupun dia di pihak yang benar…”, lihat kitab ash-Shahiihah (no. 273).
[2]. Hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, kitab al-Birr wash Shilaah, bab Maa Jaa-a fil Miraa’ (no. 2061), Tuhfatul Ahwadzi (VI/109). Dan at-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits hasan.”
[3]. HR. Al-Bukhari, kitab al-Manaaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah fil Islaam (Fat-hul Baari VI/780, no. 3632).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4028-sebab-sebab-amarah.html